Selamat Datang, Maba! Semoga Nalar Kalian Masih Utuh Setelah OSPEK

Selamat datang, para mahasiswa baru, di gerbang surga duniawi bernama kampus! Mungkin kalian masih merasa pening, lelah, dan bingung setelah melewati rentetan upacara sakral bernama Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK), atau yang lebih akrab dikenal sebagai OSPEK. Beberapa dari kalian mungkin telah menyematkan nametag dari kardus yang digantung di leher, menghafal yel-yel dengan nada riang yang kontras dengan mata yang sayu karena kurang tidur, dan dengan patuh mengikuti jadwal padat yang kerap berubah tiba-tiba. Acara ini, pada esensinya, adalah sebuah teater besar. Para panitia, yang terkadang terlihat lebih kewalahan dari mahasiswa baru yang mereka bimbing, menjalankan peran mereka sebagai pembimbing yang tegas. Kalian, di sisi lain, berperan sebagai audiens yang patuh bahkan kalian belum pahami isinya.

Di tengah hiruk-pikuk ini, sebuah pertanyaan reflektif muncul: untuk apa semua ini? Tentu, panitia dan petinggi kampus akan menjelaskan bahwa ini adalah proses pembentukan karakter, pengenalan budaya akademik, atau ajang silaturahmi. Namun, ketika tugas-tugas aneh membanjiri, komunikasi berjalan sumbang, dan waktu dihabiskan untuk hal-hal non-edukatif, esensi dari tujuan luhur itu terasa luntur. Apakah proses ini memang dirancang untuk membangun pribadi yang kritis dan mandiri, atau justru melatih kepatuhan dan mentalitas independen? Secara resmi, tujuan dari kegiatan pengenalan kampus sangatlah mulia. Program seperti PBAK dirancang untuk mengenalkan mahasiswa baru pada lingkungan dan budaya akademik, sistem pendidikan, hingga visi dan misi program studi. Tujuannya adalah untuk mengembangkan pemahaman, membangun rasa memiliki, dan memotivasi mahasiswa agar menjadi insan yang sukses. Namun, terdapat kesenjangan yang ironis antara visi yang digembar-gemborkan dengan realita yang dialami mahasiswa.

Banyak mahasiswa mengeluhkan ketidak sesuaian antara jadwal yang diberikan dengan pelaksanaannya di lapangan. Panitia seringkali dinilai kurang responsif atau bahkan tidak memahami peran mereka sendiri, menyebabkan miskomunikasi dan kebingungan di kalangan mahasiswa baru. Lingkungan yang seharusnya hangat dan suportif justru sering kali diwarnai oleh interaksi yang formal. Ini adalah paradoks yang mencolok. Lembaga pendidikan, yang seharusnya menjadi wadah untuk menumbuhkan nalar, malah memulai perjalanannya dengan sebuah ritual yang secara ilmiah terbukti melumpuhkan daya kritis. Alih-alih melatih mahasiswa untuk mempertanyakan dan menganalisis, tradisi ini justru mendoktrin kepatuhan buta, menyiapkan mereka untuk menjadi individu yang tunduk, bukan pemikir yang merdeka.

Setelah melewati upacara orientasi yang paradoks, banyak mahasiswa terjebak dalam kondisi lain yang tak kalah mengkhawatirkan: apatisme. Kondisi ini digambarkan sebagai ketidakpedulian terhadap isu-isu di luar kehidupan pribadi, sebuah sikap yang membuat seseorang merasa “lebih nyaman untuk tidak tahu apa-apa”. Fenomena ini bukanlah bawaan lahir, melainkan hasil dari sebuah sistem yang kompleks. Salah satu penyebab utama apatisme adalah beban akademik yang tinggi dan tekanan untuk berhasil di dunia kerja yang sangat kompetitif. Mahasiswa modern cenderung lebih fokus pada pencapaian pribadi dan karir, memprioritaskan tugas-tugas dan nilai agar dapat bersaing di masa depan. Ini adalah pilihan yang rasional dalam masyarakat yang mengagungkan individualisme. Namun, ada akar permasalahan yang lebih dalam. Sejak kecil, budaya di Indonesia kerap menekan inisiatif untuk bertanya, menganggapnya sebagai tanda kebodohan dan ketidak sopanan untuk bertanya yang lebih dalam. Ketika budaya ini terbawa ke lingkungan kampus, yang seharusnya menjadi ruang untuk berpikir kritis, banyak mahasiswa yang tetap takut bertanya atau berpendapat.

Kondisi ini diperparah oleh rasa pesimisme dan ketidak berdayaan yang melingkupi, di mana banyak mahasiswa merasa tidak memiliki “kuasa untuk membawa perubahan”. Ketika seseorang merasa suaranya tidak memiliki dampak, ia cenderung menarik diri dari keterlibatan sosial. Individu yang apatis tidak lagi menjalankan perannya sebagai “kontrol sosial” yang mengawasi kekuasaan. Ketika para pemikir muda, yang seharusnya menjadi “agen perubahan”, memilih untuk bungkam, demokrasi dan masyarakat akan menderita akibat hilangnya suara-suara kritis dan beragam. Apatisme bukanlah sekadar kurangnya minat, ini adalah mekanisme pertahanan yang terbentuk dari perpaduan sistem yang mengekang, budaya yang membungkam, dan perasaan tidak berdaya. Generasi mahasiswa terdahulu, khususnya yang terlibat dalam gerakan Reformasi 1998, sering kali dianggap sebagai pahlawan yang idealis. Mereka turun ke jalan, menduduki gedung DPR/MPR, dan menjadi suara rakyat yang terbungkam oleh rezim otoriter. Gerakan mereka dianggap murni, tidak ditunggangi oleh kepentingan politik mana pun, dan berlandaskan pada semangat untuk memperjuangkan perbaikan bagi bangsa.

Namun, penting untuk tidak meromantisasi sejarah tanpa melihat konteksnya. Para aktivis ’98 sendiri mengakui bahwa situasi saat ini jauh berbeda. Gerakan mereka lahir dari kondisi darurat: krisis ekonomi parah dan kekuasaan yang otoriter. Kini, tantangannya jauh lebih kompleks. Menurut aktivis ’98, mahasiswa saat ini dihadapkan pada banjir informasi yang terdistorsi, banyak informasi yang tidak jelas sumbernya, serta potensi narasi yang disusupi politik. Mereka bahkan mengkritik beberapa mahasiswa saat ini yang lemah dalam mengumpulkan data akurat dan terlalu bergantung pada media sosial yang sering kali menyebarkan hoaks. Perbandingan ini bukan untuk merendahkan, melainkan untuk menegaskan bahwa perjuangan hari ini membutuhkan atribut intelektual yang berbeda. Jika gerakan ’98 adalah perlawanan terhadap kurangnya informasi, gerakan saat ini adalah perlawanan terhadap terlalu banyak informasi yang menyesatkan. Oleh karena itu, aktivisme saat ini tidak hanya tentang demonstrasi fisik, tetapi juga tentang validasi data, analisis kritis, dan literasi digital. Ini adalah bentuk perjuangan yang lebih sulit dan menuntut daya nalar yang lebih tajam.

Wahai para mahasiswa baru, selamat datang kembali. Kalian baru saja melewati sebuah upacara penyambutan yang jika tidak disikapi dengan bijak, bisa melumpuhkan nalar sebelum nalar itu sempat tumbuh. Namun, jangan biarkan pengalaman itu mendikte sisa perjalanan kalian. Tugas kalian sebagai mahasiswa bukanlah untuk menjadi robot yang patuh, melainkan untuk membebaskan diri dari belenggu tersebut dan merebut kembali nalar kalian. Definisi “agen perubahan” tidak selalu tentang demonstrasi besar atau orasi yang menggelegar. Perubahan bisa dimulai dari hal-hal kecil, dari “gerakan perlawanan mikro”. Jadikanlah ruang kelas, perpustakaan, dan diskusi ringan sebagai medan pertempuran kalian. Rebut kembali peran kalian sebagai kontrol sosial dengan hal-hal yang dapat kalian lakukan sekarang juga.

Pertama, jangan takut bertanya. Bertanya bukanlah aib atau tanda kebodohan, melainkan fondasi dari pemikiran kritis. Beranikan diri untuk menginterogasi materi kuliah, berdebat dengan teman, atau bahkan menanyakan “mengapa?” pada dosen kalian. Kedua, jadilah pribadi yang melek informasi. Di tengah lautan disinformasi di media sosial, gunakan nalar kalian untuk memilah mana yang fakta dan mana yang fiktif, serta latihlah kemampuan analisis kalian untuk memahami setiap isu secara utuh.

Terakhir, ingatlah metafora ini: “Janganlah jadi mie instan yang sekali seduh langsung siap saji… namun jadilah padi yang memerlukan proses namun memberikan hasil yang pasti”. Jangan biarkan sistem yang serba cepat dan instan membuat kalian kehilangan kedalaman. Jadilah padi yang rela berproses, merunduk, dan terus belajar, karena pada akhirnya, hasil yang matang dan bermakna hanya bisa dicapai melalui proses yang panjang dan perjuangan yang sesungguhnya. Ukuran kesuksesan kalian di kampus bukanlah seberapa tinggi IPK atau seberapa banyak organisasi yang kalian ikuti, melainkan seberapa kritis dan mandiri pemikiran yang kalian bangun. Perjuangan untuk perubahan tidak selalu dimulai di jalanan, melainkan di dalam diri sendiri, di ruang-ruang diskusi, dan pada setiap keberanian untuk bertanya: “Mengapa?”.

Penulis : Muhammad Muzaqi Lathif

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *