Sosok yang Seharusnya Menjadi Cinta Pertama

Cinta Pertama yang Tak Pernah Ulfa Kenali

Banyak yang percaya bahwa cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Ulfa. Saat ayahnya meninggal, gadis kecil berusia empat tahun itu tidak menitikkan air mata bukan karena tidak peduli, tetapi karena ia bahkan belum sempat mengenalnya.

Ulfa lahir sebagai anak bungsu di keluarganya di sebuah desa di kabupaten Tuban. Saudaranya, terutama saudara perempuannya, memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ayah mereka. Bagi mereka, pepatah “ayah adalah cinta pertama putrinya” benar-benar nyata. Namun, tidak bagi Ulfa.

Sejak kecil, ia lebih dekat dengan ibunya. Bahkan, menurut ibunya, Ulfa selalu menolak jika ayahnya hendak menyisir rambutnya, seolah firasat bahwa mereka tak akan bersama lama.

Kepergian yang Tak Dipahami

Beberapa minggu setelah menikahkan salah satu anaknya, ayah Ulfa jatuh sakit dan akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.

Hari itu, rumah mereka dipenuhi pelayat. Isak tangis terdengar dari saudara-saudaranya yang kehilangan sosok ayah yang mereka cintai. Namun, Ulfa hanya diam.

Orang-orang yang datang sesekali menghampirinya, ada yang sekadar memberikan tatapan prihatin, ada pula yang memeluknya. Namun, Ulfa tidak mengerti mengapa semua orang bersedih. Ia hanya menatap keranda di depannya dengan perasaan asing.

Air matanya baru jatuh saat ia dibawa mendekat ke keranda. Bukan karena kematian ayahnya, tetapi karena ia takut melihat keranda itu.

Pemahaman yang Terlambat

Bertahun-tahun berlalu, Ulfa tumbuh menjadi seorang gadis yang beranjak dewasa. Seiring dengan usianya yang bertambah, ia mulai memahami arti kehilangan. Bukan hanya kehilangan sosok ayah, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk memiliki kenangan bersamanya seperti yang dimiliki saudara-saudaranya.

“Aku ingat aku benar-benar tidak menangis saat itu. Aku bahkan bersemangat mengambil bunga untuk kematian Ayah dan sempat merengek minta jajan ke Ibu” katanya dengan senyum tipis, mengenang hari itu.

Ulfa tahu kisah ayahnya dari cerita ibu dan saudara-saudaranya. Mereka sering bercerita tentang betapa penyayangnya sang ayah, bagaimana ia selalu ada untuk anak-anaknya, dan betapa dekatnya mereka dengannya.

Namun, Ulfa hanya bisa mendengarkan tanpa bisa ikut merasakan. Bagi orang lain, ayahnya adalah sosok yang penuh kasih sayang. Bagi Ulfa, ia adalah nama yang hampir tidak dikenalnya.

Bahkan, ibunya pernah bercerita bahwa saat duduk di bangku MI, Ulfa pernah menulis nama ayah temannya dalam tugas sekolah karena ia tidak tahu nama ayahnya sendiri.

“Kadang aku bertanya-tanya, kalau Ayah masih hidup, apakah aku juga akan memiliki hubungan sebaik mereka? Atau justru aku akan canggung dengannya?” katanya dengan nada bercampur antara penasaran dan pasrah.

Tidak sempurna namun cukup

Meski tak memiliki kenangan dengan ayahnya, Ulfa tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Ibunya dan saudaranya selalu ada untuknya.

“Aku memang tidak punya banyak kenangan dengan Ayah, tapi aku memiliki ibu luar biasa yang juga berperan sebagai ayah bahkan aku memanggilnya wonder women dan aku juga memiliki saudara yang selalu menjagaku” ucapnya.

”Dulu aku tidak menangis, bukan karena aku tidak peduli, tetapi karena aku belum mengerti. Sekarang, aku paham bahwa kehilangan bukan hanya tentang kesedihan, tetapi juga tentang bagaimana kita mengenang dan menghargai yang telah pergi,” ujarnya.

Faktanya bahwa tidak ada gunanya belarut dalam kesedihan meski masih ada rasa penasaran yang tertinggal, rasa penasaran akan bagaimana memiliki ayah tapi hidup harus terus berjalan. Ia tidak ingin terperangkap dalam kesedihan yang tak pernah ia pahami saat kecil. Kehilangan bukanlah akhir dari segalanya ia adalah bagian dari perjalanan hidup yang mengajarkan arti ketegaran dan penerimaan.

Oleh: Laili Nur Fadlilah/Prodi PGMI Semester 4

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *