Lebih dari dua dekade setelah reformasi 1998, janji kedaulatan rakyat terasa semakin usang. Demokrasi yang seharusnya menjadi instrumen untuk menyejahterakan rakyat, kini terlihat seperti panggung sandiwara yang diatur oleh segelintir elit. Kita menyaksikan transisi dari otoritarianisme birokratis-militer menuju oligarki yang bersembunyi di balik jubah institusi demokrasi formal. Kekuasaan dan modal telah menyatu dalam sebuah simbiosis yang menggerus hak-hak sipil, kesejahteraan rakyat, dan meminggirkan kepentingan nasional demi ambisi pribadi. Laporan ini akan mengupas bagaimana lanskap politik domestik Indonesia antara tahun 2023-2025 adalah cerminan dari kegagalan konsolidasi demokrasi, di mana kedaulatan rakyat terpasung oleh kekuatan elit yang pragmatis. Pertanyaannya, seberapa dalam pengaruh oligarki, bagaimana kebijakan strategis menjadi alat konsolidasi kekuasaan, dan apa peran rakyat dan mahasiswa dalam menghadapi kemunduran ini?
Tesis Jeffrey A. Winters tentang oligarki menjadi kunci untuk memahami dinamika politik hari ini. Ia mendefinisikan oligarki secara materialis: kekuasaan politik yang ekstrem bersumber dari ketidaksetaraan kekayaan yang ekstrem. Pasca-Reformasi, para oligarki tidak lenyap, melainkan berhasil menyesuaikan diri dan menguasai sistem demokrasi baru. Mereka tidak melawan demokrasi, tetapi memasukinya dan memanipulasinya dari dalam. Kekayaan mereka digunakan untuk mengendalikan partai politik, mendanai kampanye yang mahal, dan memanipulasi proses elektoral.
Fenomena ini menjadikan pemilu, dengan partisipasi tinggi—mencapai 82% pada Pilpres 2024 —sebagai ritual tanpa substansi. Demokrasi menjadi sebatas prosedur, sementara esensi kedaulatan rakyat dan kontrol terhadap elit lenyap. Bukti nyata dapat dilihat dari dinamika menjelang Pilpres 2024. Perubahan aturan batas usia calon wakil presiden melalui Mahkamah Konstitusi, yang dipimpin oleh kerabat elit, menunjukkan bagaimana lembaga yudikatif, yang seharusnya menjadi benteng demokrasi, dapat menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Ini adalah gambaran bagaimana oligarki mengeksploitasi sistem dari dalam, mengubah demokrasi menjadi “demokrasi yang disandera”. Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dipromosikan sebagai simbol “Indonesia Maju”, namun di balik narasi megah itu, ada realitas suram yang menimpa rakyat. Proyek ini memakan anggaran multi-tahun yang besar, mencapai Rp43 triliun hingga tahun 2024, dan menambah beban utang negara yang sudah menggunung. Proyek ini juga menimbulkan “penyalahgunaan kekuasaan” dan “taktik menakut-nakuti” terhadap masyarakat, termasuk komunitas adat yang diusir dengan surat peringatan 7 hari yang mengingatkan pada era Orde Baru. Dampak lingkungan tak kalah mengkhawatirkan. Menurut Komisi IV DPR, sekitar 59,5% luas wilayah IKN adalah kawasan hutan dan habitat satwa endemik yang seharusnya dilindungi. Lebih lanjut, mundurnya Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN pada tahun 2024 di tengah janji investasi swasta yang tak kunjung terwujud, mengindikasikan bahwa proyek ini tidak memiliki perencanaan yang matang, melainkan didorong oleh ambisi politik jangka pendek.
Meskipun pemerintah secara resmi menyatakan utang luar negeri “tetap terkendali” dengan rasio terhadap PDB sebesar 31,0% pada Agustus 2024, realitasnya adalah beban utang pemerintah pusat terus meningkat. Per Januari 2025, total utang pemerintah mencapai Rp8.909,14 triliun. Kenaikan ini, yang sebagian besar digunakan untuk membiayai proyek strategis seperti IKN, berpotensi memindahkan beban finansial kepada generasi mendatang. Ekonom Bhima Yudhistira mengingatkan bahwa pembiayaan IKN yang tidak jelas dapat membawa Indonesia ke dalam “jebakan utang” (debt trap). Analisis ini juga menyentuh aspek geopolitik: Tiongkok dilaporkan siap memberikan utang untuk IKN, memicu kekhawatiran proyek ini dapat menjadi “New Beijing” akibat kepentingan geopolitik di Laut Cina Selatan. Ini menunjukkan bahwa kebijakan domestik yang didorong oleh elit memiliki konsekuensi geopolitik yang serius, di mana kedaulatan negara bisa jadi dipertaruhkan demi pembiayaan.

Laporan Amnesty International mencatat tahun 2023 sebagai krisis kebebasan sipil terburuk, dengan setidaknya 268 pembela hak asasi manusia diserang. Jurnalis juga menjadi target, dengan 89 kasus kekerasan dilaporkan sepanjang 2023. Kebebasan berekspresi semakin terpasung oleh penggunaan “pasal karet” dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Contoh paling nyata adalah kriminalisasi aktivis #SaveKarimunjawa. Mereka dilaporkan ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian karena mengkritik tambak udang ilegal, menunjukkan bagaimana hukum digunakan untuk melindungi kepentingan bisnis elit yang merusak lingkungan.
Respons pemerintah terhadap kritik dan demonstrasi juga semakin represif. Kronologi demonstrasi mahasiswa pada Agustus 2025 menunjukkan penggunaan kekerasan yang tidak proporsional oleh aparat keamanan. Meriam air dan gas air mata ditembakkan, sementara penangkapan sewenang-wenang terjadi, bahkan menyebabkan kematian tragis seorang demonstran. Ada korelasi yang jelas antara lonjakan konflik agraria—mencapai 295 kasus pada tahun 2024 dengan sektor perkebunan sebagai penyumbang terbesar —dan peningkatan kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan dan masyarakat adat. Kebijakan seperti Undang-Undang Cipta Kerja yang melemahkan perlindungan lingkungan semakin memperkuat posisi elit dan meminggirkan rakyat.
Secara eksternal, pemerintah berupaya membangun citra Indonesia sebagai pemain global yang penting. Langkah strategis seperti bergabung dengan BRICS pada Januari 2025 dianggap sebagai upaya untuk memperluas pengaruh ekonomi global. Namun, ambisi ini kontradiktif dengan realitas internal. Laporan EIU Democracy Index mengkategorikan Indonesia sebagai “demokrasi yang cacat” (flawed democracy), mencerminkan erosi kebebasan sipil, partisipasi politik, dan berfungsinya pemerintahan. Citra yang dibangun melalui diplomasi atau olahraga akan runtuh jika di dalamnya sendiri kedaulatan rakyat tergerus, HAM dilanggar, dan korupsi merajalela. Laporan Transparency International pada 2024 menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia stagnan di skor 37, dengan kasus-kasus korupsi di sektor energi dan lingkungan yang terkait dengan “tokoh-tokoh yang berpengaruh secara politik”. Sebuah negara tidak bisa menjadi pemain global yang kredibel jika fondasi geopolitik domestiknya rapuh.
Berikut adalah data-data kunci yang meruntuhkan narasi ideal tentang demokrasi dan pembangunan di Indonesia.
Tabel 1: Indikator Demokrasi & Kebebasan Sipil Indonesia (2023-2025)
Indikator | Data | Sumber |
Skor Indeks Persepsi Korupsi (2024) | 37 dari 100 | Transparency International 25 |
Kategori Demokrasi | Flawed Democracy | EIU Democracy Index 22 |
Jumlah Serangan Terhadap Pembela HAM (2023) | 268 kasus | Amnesty International 13 |
Jumlah Kekerasan terhadap Jurnalis (2023) | 89 kasus | AJI 13 |
Kriminalisasi UU ITE | 332 individu dikenai pasal karet (Jan 2019-Mei 2022) | Amnesty International 26 |
Tabel 2: Konflik Agraria & Lingkungan (2024)
Kategori | Data | Sumber |
Total Konflik Agraria (2024) | 295 letusan kasus | KPA 17 |
Kenaikan Konflik | 21% dari tahun 2023 | KPA 17 |
Jumlah Keluarga Terdampak | 67.436 keluarga | KPA 17 |
Penyebab Terbesar | Sektor Perkebunan (111 kasus) | KPA 17 |
Korban Kekerasan | 556 orang | KPA 17 |
Tantangan utama bagi demokrasi Indonesia saat ini bukanlah ancaman eksternal, melainkan erosi yang sistematis dari dalam, didorong oleh kepentingan elit yang mengendalikan negara. Politik domestik adalah medan pertempuran di mana kepentingan segelintir orang mengalahkan kepentingan banyak orang. Proyek-proyek ambisius menjadi alat untuk mengkonsolidasi kekuasaan, bukan untuk menyejahterakan rakyat.
Di tengah situasi ini, peran mahasiswa dan seluruh elemen masyarakat sipil menjadi benteng terakhir demokrasi. Kita harus belajar dari sejarah, dari gerakan mahasiswa 1998 yang berhasil menumbangkan rezim otoriter, bahwa perubahan tidak datang dari atas, melainkan dari tekanan yang konsisten dari bawah. Akankah “pesona gerakan mahasiswa” yang dianggap pudar dapat kembali? Mungkinkah “resiliensi demokrasi” terwujud? Jawabannya terletak pada komitmen kolektif untuk menolak politik pragmatis dan terus menyuarakan kebenaran. Panggilan perlawanan bukan hanya untuk menentang kebijakan yang merugikan, tetapi juga untuk menuntut agar kedaulatan kembali ke tangan rakyat, seutuhnya.
Penulis: Lathif Muzaqi