Agama dan Kemiskinan: Anestesi Sosial atau Etika Pembebasan?

Di negeri ini, kita sering mendengar kalimat manis: “Agama itu penuntun hidup, cahaya kebenaran, jalan lurus menuju keselamatan.” Tapi mari jujur sejenak: di lapangan, agama kerap lebih mirip obat bius sosial ketimbang cahaya peradaban. Ia menenangkan orang lapar tanpa mengenyangkannya, menghibur orang miskin tanpa mengeluarkannya dari lingkaran kemiskinan, dan membuat orang pasrah pada nasib sembari melanggengkan struktur ketidakadilan. Kutipan provokatif “Agama adalah narkoba halal orang miskin” (Whispgency) mungkin terasa kasar, tapi ia menyingkap kenyataan. Karl Marx sudah lebih dulu menyebut agama sebagai opium of the people—candu masyarakat (Marx, 1844). Bukan karena agama selalu buruk, melainkan karena ia kerap dijadikan anestesi: menenangkan rasa sakit sambil menumpulkan hasrat untuk melawan.

Secara ideal, agama adalah pagar moral.(Durkheim, 1912) menyebut agama sebagai perekat sosial. Dalam Islam, ada amar ma’ruf nahi munkar—dorongan untuk menegakkan kebaikan dan melawan keburukan. (Weber, 1905) bahkan menunjukkan bagaimana etika religius melahirkan kapitalisme modern. Dengan kata lain, agama bisa—dan seharusnya—menjadi mesin etika sosial. Namun, yang terjadi di masyarakat justru sebaliknya: agama lebih sering jadi dalih ketimbang dorongan produktivitas.

Mari kita lihat contoh-contoh nyata:

1.Banyak anak banyak rezeki.

      Kalimat sakti ini adalah tiket emas menuju pengangguran, kriminalitas, dan lingkaran setan kemiskinan. Todaro & Smith (2015) sudah lama membuktikan hubungan antara tingginya angka kelahiran tanpa perencanaan dengan keterbelakangan ekonomi. Tapi dogma ini terus diulang, seolah Tuhan menjamin setiap mulut otomatis datang dengan piring nasi. Nyatanya? Anak-anak kelaparan, sekolah putus, kriminalitas naik.

      2. Rezeki sudah ada yang ngatur

      Dalih sempurna untuk kemalasan kolektif. Ya, rezeki memang diyakini datang dari Tuhan. Tapi tafsir fatalistik ini mengebiri akal sehat dan kerja keras. Amartya Sen (1999) menyebut pembangunan sebagai kebebasan manusia. Bagaimana bisa bebas kalau sejak awal manusia sudah dilatih untuk pasrah dan menunggu jatuhnya uang dari langit?

      3. Yang penting nikah, hindari zina

      Hasilnya? Pernikahan dini tanpa persiapan ekonomi, anak-anak lahir ke dunia miskin, dan kemiskinan struktural berulang lintas generasi. Mereka berhasil menghindari zina, tetapi gagal menghindari lapar. Ironi paling pahit dari doktrin setengah matang.

      Ada pula kalimat lain: “Ngapain ngejar dunia, yang penting akhirat.” Sepintas terdengar saleh. Tapi sejatinya, ini adalah egoisme terselubung. Orang dengan harta melimpah bisa membantu banyak orang. Sedangkan orang miskin yang pasrah sering kali hanya membantu dirinya sendiri untuk tetap merasa “suci.” Ali Syariati (1970) menyebutnya agama domestikasi: agama yang membuat manusia jinak dan puas hidup dalam keterbelakangan. Yang lebih absurd: mereka menolak “ngejar dunia,” tapi sibuk mengejar garam ruqyah, minyak doa, atau jimat pelancar rezeki. Katanya tidak percaya dunia, tapi percaya benda-benda magis yang konon bisa mendatangkan rezeki instan. Bryan Turner (1991) menyebut fenomena ini sebagai agama populer: ketika ritual lebih penting daripada etos kerja, dan simbol lebih berharga daripada substansi.

      Meski begitu, tidak adil jika agama hanya dipotret sebagai candu. Dalam teks aslinya, Marx pun mengakui agama adalah “keluhan makhluk tertindas.” Ia memberi pelipur lara, tapi bukan solusi. Persoalannya bukan pada agama itu sendiri, melainkan tafsir yang dipilih manusia. Islam, misalnya, jelas mendorong ikhtiar: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka mengubah dirinya sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11). Artinya, agama sejatinya bukan alat pembius, melainkan pemicu perubahan. Sama seperti Weber melihat etika Protestan sebagai bahan bakar kapitalisme, tafsir progresif Islam pun bisa menjadi bahan bakar pembangunan.

      Agama itu ibarat api. Ia bisa jadi pelita yang menerangi jalan, tapi juga bisa jadi asap yang menyesakkan paru-paru. Ketika ditafsir fatalistik, agama hanya membuat orang miskin semakin nyaman dalam penderitaan—narkoba halal yang meninabobokan. Tapi ketika ditafsir progresif, agama bisa menjadi etika sosial yang membebaskan dari kemiskinan struktural. Maka, pertanyaannya sederhana tapi mendesak: maukah kita terus mabuk dengan “narkoba halal,” atau mulai menyalakan agama sebagai bensin moral untuk melawan ketidakadilan?

      Oleh: Muhammad Muzaqi Lathif

      Tinggalkan Komentar

      Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *