Tuban, 20 Februari 2025 – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Senori Tuban sukses menggelar kegiatan kajian kritis bertajuk “Feodalisme dalam Pesantren”. Acara ini berlangsung di halaman kampus STAI Senori Tuban pada Jumat (20/2), dengan menghadirkan diskusi yang dinamis dan partisipatif dari mahasiswa yang hadir.
Kajian ini dibuka secara resmi oleh Presiden BEM STAI Senori Tuban, Mohamad Fahmi Rizal Abidin. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya kajian akademik yang kritis sebagai bagian dari penguatan intelektual mahasiswa. Menurutnya, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki sejarah panjang dalam membentuk karakter bangsa, namun dalam beberapa aspek masih terdapat praktik-praktik feodalisme yang perlu dikaji lebih lanjut.
Diskusi semakin menarik dengan kehadiran pemantik diskusi, Arzaq Wahyu Syien, seorang mahasiswa STAI Senori Tuban yang dikenal aktif dalam kajian sosial dan keislaman. Dalam paparannya, Arzaq menjelaskan bagaimana feodalisme dalam pesantren bisa muncul dalam bentuk hierarki sosial yang ketat, relasi kuasa antara kyai dan santri, serta bagaimana sistem ini memengaruhi pola pikir dan dinamika sosial di lingkungan pesantren.
Di pesantren tradisional, hubungan antara kiai dan santri seringkali menyerupai pola patron-klien. Kiai dianggap sebagai figur otoritatif dan santri diharapkan untuk menunjukkan ketaatan tanpa banyak mempertanyakan. Hal ini mencerminkan elemen feodal yang mengakar dalam tradisi keagamaan dan budaya Jawa.
Meski struktur hierarkis tersebut menyerupai feodalisme, konteksnya sangat berbeda dari feodalisme Eropa. Di pesantren, ketaatan itu bukan semata-mata soal kekuasaan atau ekonomi, melainkan juga sebagai bagian dari penghormatan terhadap ilmu dan nilai keislaman yang telah diwariskan turun-temurun. Jadi, walaupun ada kemiripan struktural, nilai yang mendasarinya lebih ke aspek spiritual dan moral.
Di sisi lain, banyak pesantren modern maupun salaf mulai mengadopsi prinsip-prinsip demokratis dengan membuka ruang diskusi dan mendorong pemikiran kritis. Hal ini mengurangi ketergantungan pada struktur otoriter tradisional dan memberi peluang bagi santri untuk mengembangkan ide dan kepemimpinan. Dengan demikian, tidak semua pesantren dapat dikategorikan sebagai “feodal” dalam arti negatif.
Jadi, apakah pesantren menganut sistem feodalisme? Jawabannya bergantung pada konteksnya. Pesantren tradisional memang menampilkan elemen feodal dengan otoritas kiai yang sangat dominan tetapi nilai-nilai keislaman yang mendasarinya serta upaya reformasi yang tengah berlangsung menunjukkan bahwa struktur tersebut dapat berkembang dan beradaptasi. Dengan kata lain, meskipun ada ciri-ciri feodal dalam praktik tradisional, pesantren juga memiliki potensi untuk berubah menuju sistem yang lebih inklusif dan demokratis.
Para mahasiswa yang hadir turut serta memberikan pandangan kritis mereka, membahas berbagai aspek dari feodalisme di pesantren, baik dari sisi positif maupun tantangan yang dihadapi. Beberapa peserta menyoroti pentingnya transformasi pendidikan pesantren agar lebih demokratis dan responsif terhadap perkembangan zaman, tanpa menghilangkan nilai-nilai tradisional yang telah mengakar kuat.
Kegiatan kajian kritis ini diakhiri dengan kesimpulan bahwa diperlukan kajian lebih lanjut serta solusi konkret dalam menjawab tantangan feodalisme di pesantren. BEM STAI Senori Tuban berkomitmen untuk terus mengadakan forum-forum diskusi semacam ini guna meningkatkan kesadaran dan pemahaman mahasiswa terhadap isu-isu sosial dan pendidikan Islam.
Dengan adanya kajian ini, diharapkan mahasiswa semakin kritis dan aktif dalam merespons berbagai persoalan yang berkembang di lingkungan pendidikan Islam, sekaligus mencari solusi yang inovatif dan aplikatif.
Oleh : BEM STAI Senori Tuban