Biografi Mbah Nur Hasyim

Tokoh termashur yang dikenal dengan ” Macan dari Tuban ” yang merupakan pelopor pendidikan di kecamatan Soko sekaligus pendiri YASPINU ( yayasan pondok pesantren Tarbiyatul Islam Nurul Huda ) dan Sekolah tinggi agama Islam Al-Qur’an dan Tafsir (STIQNUHA). Beliaulah KH.Nur Hasyim yang merupakan putra dari Mohammad Rowi dan Siti Habibah, lahir di Desa mojoagung Kecamatan Soko tepatnya pada tanggal 24 April 1924 M atau 20 Ramadhan 1342H. Secara silsilah KH.Nur Hasyim masih masih memiliki garis keturunan dengan pangeran hadi widjaya atau yang lebih kita kenal dengan sebutan “Joko Tingkir” melalui garis keturunan ibunya, sedangkan ayah beliau merupakan sosok yang teguh pendirian dan berwibawa, disamping itu ayah beliau juga merupakan seorang pengusaha di pasar Soko bahkan masyarakat mempercayai beliau sebagai kyai desa.  Salah seorang putra beliau  mengatakan “Garis keturunan ayah tidak dibukukan tapi silsilah ibu masih ada sampai sekarang dan semuanya masih saya simpan, silsilah ini adalah tulisan abah”.( Ucap KH. M. Ali  Mufthi)

KH.Nur Hasyim pada masa hidupnya berprinsip bahwa “hidup matiku untuk umat” prinsip itu masih ada dalam buku catatan pribadinya. Dan MOTTO  yang paling terkenal dikalangan para santri beliau adalah “Samatni -samatni Al Khoidah artinya jadilah generasi-generasi macan dan التّعلم متعلّم ( belajar dan mengajarkan)”ucap salah satu santri sekaligus guru di ponpes Nurul Huda.

  1. Nur Hasyim atau mbah nur sendiri lebih fokus pada pengembangan pendidikan Ma’arif NU Tuban, khususnya di kecamatan Soko. Dengan keyakinan bahwa pendidikan adalah modal memperbaiki umat dari segala sendi kehidupan itulah yang membuat Mbah Nur gigih memperjuangkan pendidikan.

Kiai Nur Hasyim mengenyam pendidikan formalnya di Sekolah Dasar (SD) Tanggungan, Desa Pandanwangi Soko, karena waktu itu pendidikan agama masih dibatasi. Apalagi berbasis NU masih dilarang. Tapi,hal itu tidak menyurutkan niat untuk belajar. Selain itu, dia juga tekun mengaji di abahnya.

Setelah lulus SD, dia ingin mendalami ilmu agamanya, sehingga melanjutkan ke pondok  pesantren Abu  di Dusun Beron, desa  Punggulrejo Rengel selama 5 tahun dengan asuhan Kiai Musyafak. Kemudian beliau melanjutkan ponpes Abu Darin Ngumpakdalem, Kendal Bojonegoro. Berbagai ilmu dia kuasai, di antaranya fiqih dan tasawuf.

Beliau terkenal sebagai sosok yang tak kenal lelah dalam menuntut ilmu, sehingga hal tersebut membuat beliau memutuskan untuk kembali mondok di Pondok pesantren Tebu Ireng Jombang, yang pengasuhnya waktu itu adalah tokoh sekaligus pelopor berdirinya NU, KH Hasyim Asy’ari menjadi tujuannya. Beliau membiayai dirinya sendiri selama mondok dengan mengumpulkan uang dari menjahit. Hal itulah, yang membuat dia disegani oleh para kiai dan gurunya. Pada tahun 1924 neliau pulang ke kampung halaman.

Karena sejak kecil sudah hidup di keluarga yang kental nilai agama, dengan didikan sang ayah yang tegas dan keras. Beliau  berdakwah melalui surau-surau yang ada, juga mendirikan pondok pesantren Nurul Huda yang berada di komplek yayasan Islam Nurul Huda. Ada madrasah Tarbiyatul Islam yang sekarang diteruskan anak dan cucunya. Anak yang ke 7 Asadullah Khoiri, menceritakan tentang salah satu karomah yang dimiliki Kiai Nur Hasyim yaitu  musala dari Mojo ke Soko dipindah oleh Kiai Nur Hasyim sendiri dengan bantuan para kodam (pembantunya) berupa macan putih. ‘’Aneh juga paginya tidak ada musala di situ, kok malamnya bisa ada. Padahal abah waktu itu sedang istirahat di rumah. Sejarah mencatat pendidikan islam untuk pertama kalinya yang didirikan di Soko dipelopori oleh Kiai Nur Hasyim, tambah  Kiai Mu’thi,  putra Kiai Nur Hasyim lainnya. Dia meniruman ucapan Kiai Nur Hasyim bahwa mencerdaskan generasi dan kader bangsa harus melalui pendidikan,  khususnya agama.

Pada tahun 1951 berdiri MI Tarbiyatul Islam Sokosari. Berdirinya di pelopori bersama sahabatnya, hingga dikenal dengan sebutan ‘tiga serangkai’, yakni Kiai Nur Hasyim sebagai pelopor yang membidangi pendidikan dan politik kebangsaan, Kiai Rozi membidangi hubungan masyarakat dan diplomatik umat, serta Kiai Kardani membidangi politik kemasyarakatan sekaligus menjadi mata-mata Golkar sebagai strategi pendekatan pemerintahanan kala itu.

Sementara itu, Kiai Nur HAsyim menikah dengan seorang gadis asal Desa Sawahan, Kecamatan Rengel bernama Siti Mu’tiah binti Ahmad Musyafak. Pasangan itu  dikaruniai delapan anak yaitu Umi Nasikhah, Luluk Muftiyah, Anisa’i Khoiriyyah, M. Ali Mufthi, Hadi Masruri, Rofih Kholiliyah, Asadullah Khoiri dan Khoirul Muttaqim.

Meskipun hidup di jaman penjajahan Belanda sampai Jepang, dengan stabilitas keamanan terganggu, tidak menyurutkan langkahnya untuk mengembangkan sistem pendidikan madrasah yang didirikannya. Semula masih menggunakan sistem sorogan (klasikal) ala pesantren. Hingga seiring perjalanan waktu, akhirnya sukses mengembangkan program pendidikan ma`arif. Terbukti, tahun 1957 berhasil mendirikan madrasah tsanawiyah (Mts) Tarbiyatul Islam yang sudah mulai menggunakan kurikulum dinas pendidikan, hasil perjuangannya yang tak kenal lelah itu bersama temannya tersebut.

Akhirnya 1968, bersama sahabat seperjuangannya, Kiai Nur Hasyim mempunyai inisiatif untuk menyelamatkan umat dari rongrongan ideologi komunism dan demi mempertahankan agama dan bangsa, dia memulai menampakkan diri ikut berkiprah dipanggung politik kala itu menjadi kader PPP. Misinya menyebarkan pendidikan agama dan politiknya sampai ke pelosok desa se Kecamatan Soko. Kunci perjuangannya menyatukan tiga pilar yaitu melestarikan ubudiyyah (ibadah-akhlaq), penyebaran pendidikan politik umat dan sikap komunikatif atau musyawaroh bersama rakyat, mendapat dukungan penuh oleh rakyat. Satu persatu berdiri MI di Soko, hampir 16 MI yang berdirinya dipelopori Kiai  Nur Hasyim. “Dengan daya yang tangguh, setiap malam Mbah Nur Hasyim dengan sepeda pancal bersilaturrahmi ke desa-desa. Pertama untuk mengaji dan konsolidasi bersama rakyat. Kemudian membuat stategi mendirikan madrasah. Itulah yang istiqomah dilakukan. Pagi berurusan dengan santri malam berurusan dengan masyarakat, itu yang bikin salut,” tandas Kiai Fauzan Menilo teman seperjuangnnya.

Pada tahun 1971, selain pendidikan, politik menjadikan salah satu metode dakwahnya. Degan kendaraan PPP telah menguatkan ruh perjuangannya sebagai langkah perlawanan pada pemerintahan yang selalu mengibiri kepentingan umat nadliyin. Harapannya, dengan menjadi wakil rakyat suaranya rakyat akan tersampaikan. Dia terpilih menjadi anggota DPRD Tuban untuk pertama kalinya saat Bupati Tuban dijabat KH Mustain. Selama menjadi angota dewan tiga periode berturut-turut mulai tahun 1971, 1982, dan 1990, Kiai Nur Hasyim mendirikan Madrasah Aliyah (MA) Tarbiyatul Islam pada 1979 dan satu Yayasan Pendidikan Islam Nurul Huda (YAPISNU).

Sikap yang santun, sederhana dan penuh wibawa tetap menjadi adalah ciri khas Kiai Nur Hasyim. KH Fauzan Umar Menilo mengatakan, bahwa Kiai Nur Hasyim selalu mengajarkan sifat yang tawaduk pada rakyat. “ Beliau sejak dulu selalu keliling kampung mengunjungi umat sehingga kedekatan beliau tak diragukan lagi, siapa yang tidak kenal beliau dalam keliling yang kala itu harus dia tempuh dengan jalan kaki atau pakai onthel,’’ ujarnya.

Asadullah Khoiri, anak ketujuh Kiai Nur Hasyim menambahkan, bahwa abahnya tipe pekerja keras memperjungakan agama tanpa pamrih, pantang menyerah. Kesulitan apapun tidak menyurutkan niat untuk berjuang, bahkan akan menjadi kekuatan untuk menggapai hari esok lebih baik. ‘’Abah itu orangnya kalem tapi serius dalam berprinsip, salah satu yang pernah dikatakan kalau berjuang jangan setengah-setengah tapi niat hati harus ditata dan sepenuhnya agar bisa runtut,’’ terangnya.

Hal senada disampaikan satu murid MTs Tarbiyatul Islam Soko (1976-1979) M. Sufaat yang menjabat kepala UPTD Disdikpora Soko. Dia mengatakan, sifat kesabaran, keberanian dan konsisten selalu mewarnai sosok Kiai Nur Hasyim. Demi kemaslahatan umat, tak pernah mengeluh, semangat dan keikhlasannya luar biasa. “Yang masih teringat, ketika Kiai mau mengajar, mendengar suara sandal kletek (sandal dari kayu) yang dipakai Mbah Yai saja, anak-anak sudah pada takut, karena wibawa dan karomahnya itu,’’ ungkap Ketua Tanfidziyah MWC NU Soko itu.

Kiai Nur Hasyim telah membuktikan diri,selain memiliki pendidikan formal dan pondok pesantren, beliau juga meninggalkan majelis ta’lim Ahad Kliwonon, yang sampai sekarang masih diteruskan oleh putra-putranya.

Di antaranya mengajarkan kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rosyid dan Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghozali. Jamaah Ahad Kliwon ini masih eksis sampai sekarang yang dibina oleh putra ke empat yakni Kiai  M Ali Mufti.

Selain aktif di dunia pendidikan, beliau bersama para jamaahnya juga berhasil mendirikan koperasi untuk kemaslahatan ekonomi umat kala itu. Sambil berniaga barang mebeler, jamu, dan peralatan kantor, hasilnya diberikan sebagai permodalan koperasi dengan tanpa bunga, sehingga masyarakat dan jamaah merasa terbantu. Bahkan juga membantu fakir miskin dengan membelikan 100 becak untuk dipinjamkan dengan memberikan setoran setiap hari yang peruntukkan demi kemajaun koperasi dan pendidiknya, tanpa mengambil sepeserpun. ’’Ya begitulah caa abah mengayomi umat. Masyarakat juga merasa dekat dengannya.

Pada hari senin 15 Juni 1994, Kiai Nur Hasyim wafat dan dimakamkam di makam umum Desa Sokosari. Setiap Muharam diadakan haul memperingati perjuangnnya. Terkadang juga bersamaan dengan akhirrusanah YAPISNU, peninggalannya adalah Lembaga YAPISNU dan SMP NU Plus 2 yang didirikan oleh putranya Kiai Ali Mufthi.

Karya-karya yang masih ada dan pernah di terbitkan adalah  Pedoman Tashrifan (Ilmu Sharaf), Syarah Ta’lim al-Muta’allim , Hidayatus Shibyan dan masih banyak yang sebagian besar adalah terjemah dalam arti pegon.

Jasa – jasa beliau diantaranya adalah pelopor berdirinya Lembaga pendidikan Ma`arif (MI, MTs, MA) se Kec. Soko (1951-1990)

Mengajarkan Manajemen Keuangan dengan mendirikan Badan Usaha (Koperasi) Niaga

Mendirikan Media komunikatif antar Santri dan Kyai serta Masyarakat ((KKM) di Soko (1989)

Mendirikan YAPISNU (Yayasan Pendidikan Islam Nurul Huda) Soko Tuban (1990)

Perintis berdirinya MWC NU Kecamatan Soko (1990)

Pengajian Rutin Ahad Kliwonan, Pelestarian Kajian Aswaja yang dilestarikan di seluruh desa di Soko.

Komandan Laskar Jihad saat memerangi PKI di Goa Tluwe Soko

Prinsip KH.Nur Hasyim:

  1. Istiqomah adalah Hidupku
  2. Hidup dan matiku untuk Umat
  3. Samatni Samatni Al Khoidah, (Jadilah Generasi Macan)

4.Semangat berjuang tanpa pamrih, akan jadi modal hidup di masa depan

  1. Setiap Kesulitan tidak menjadi penghalang untuk berkarya dan berjuang

6.Apabila niat baik akan berakar baik pula

7.Amalkanlah syariah islam apa adanya itu sudah termasuk TASAWUF

8.Berpeganglah pada satu pedoman yang betul jangan guna lain pedoman untuk memusuhi

  1. Konsisten dalam prinsip dan siap menjalani resiko
  2. Jangan mengeluh dalam berjuang, karena bisa merusak iman.

Dan  prinsip Mbah Nur yang paling terkenal dikalangan santrinya dan beliau terapkan adalah التّعلم متعلّم ( belajar dan mengajarkan)

Oleh: Fadliyatul Muna

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *