Demokrasi Ditukar Nyawa di Negara yang Pekak Nurani

Jakarta, 28 Agustus 2025.
Asap gas air mata masih menggantung di udara Pejompongan malam itu. Sirene meraung, teriakan bercampur dengan batuk-batuk sesak. Di tengah kekacauan, sebuah rantis Brimob menderu kencang dan dalam sekejap, seorang pemuda 21 tahun bernama Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, tergeletak tak bernyawa. Ia bukan demonstran, ia hanya mengantar pesanan makanan. Video kejadian itu viral, keluarga menangis di RSCM, dan sejak malam itu arah protes berubah: dari sekadar menolak tunjangan DPR menjadi seruan keras untuk akuntabilitas negara.

Dan Affan bukan satu-satunya. Daftar korban terus bertambah:

  1. Rheza Sendy Pratama, mahasiswa Amikom, tewas setelah jatuh dari motor akibat ricuh gas air mata di Yogyakarta.
  2. Akbar Basri, fotografer DPRD Makassar, meninggal terjebak api di gedung DPRD.
  3. Sarina Wati, staf DPRD Makassar, ikut terpanggang di lokasi sama.
  4. Syaiful Akbar dan Budi Haryadi, ASN dan Satpol PP Makassar, melompat dari lantai empat gedung DPRD yang terbakar, nyawa mereka tak tertolong.

Enam nama, enam nyawa, enam alasan kenapa jalanan menolak diam.

Awalnya, pemicu sederhana: DPR ngotot menaikkan tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan, sepuluh kali lipat dari UMR Jakarta. Publik marah, mahasiswa turun ke jalan, buruh ikut bergabung. Dan di saat rakyat mengencangkan ikat pinggang karena PPN naik jadi 12 persen, elite politik malah menambah ikat pinggang Gucci-nya. Tapi mari jujur, isu tunjangan hanya korek api. Tumpukan jerami yang terbakar itu jauh lebih besar: kesenjangan ekonomi, krisis representasi, dan oligarki politik yang makin menebal. DPR makin jauh dari rakyat, mereka sibuk dengan gimmick dan selfie, sementara buruh sibuk mencari makan, mahasiswa sibuk menambal biaya kuliah. Politik berubah jadi sirkus dan rakyat dipaksa jadi penonton yang bayar tiketnya lewat pajak.

Sebagai mahasiswa, saya sangat paham akan UUD 1945 Pasal 28E menjamin kebebasan berkumpul dan berpendapat. UU No. 9/1998 menegaskan polisi wajib melindungi demonstran. Tapi apa yang terjadi di lapangan? Gas air mata ditembakkan tanpa pandang bulu, penangkapan massal 951 orang (termasuk 196 anak), bahkan penangkapan di warung makan dan pusat belanja. Komnas HAM menyebut ada dugaan excessive use of force. KontraS lebih keras lagi: ini darurat kekerasan negara. Jujur, yang ironis bukan cuma aparat yang menabrak rakyat. Yang lebih ironis: negara menabrak konstitusinya sendiri. Setelah korban berjatuhan, elite mulai panik. Presiden buru-buru bilang tunjangan DPR ditinjau ulang. Partai-partai sok heroik dengan menonaktifkan anggota dewan yang kelewat vokal. Tapi itu semua hanya politik kosmetik. Sementara di luar gedung, rupiah anjlok ke Rp16.500 per dolar, IHSG turun drastis, investor panik.

Lucu ya? Nyawa rakyat tak bisa menggerakkan hati para politisi, tapi grafik pasar bisa bikin mereka rapat kilat. Seolah-olah saham lebih bernilai daripada darah mahasiswa.

Dan di tengah semua kegaduhan, Presiden Prabowo Subianto menambah bumbu basi ke dalam luka rakyat: menyebut bahwa demonstrasi ini ada “tangan asing” yang membayar. Narasi seperti ini bukan baru, Orde Baru sudah lama menggunakannya untuk memukul oposisi. Bedanya, kini dijajakan ulang di zaman yang katanya reformasi. Sebagai mahasiswa, saya hanya bisa tertawa sinis. Kalau benar demo ini dibayar asing, mengapa banyak kawan justru harus galang dana online untuk biaya pengobatan setelah terkena gas air mata? Kalau benar ada dolar yang mengalir, kenapa uang makan kami masih hutang di warung? Menuduh demo ini bayaran asing adalah cara malas untuk menolak bercermin, bahwa masalah ada di dalam negeri sendiri. Bahwa rakyat turun bukan karena dolar, tapi karena rupiah makin tak bernilai.

Lebih pahitnya lagi, narasi ini adalah bentuk delegitimasi: menghapus suara rakyat dengan stempel “boneka asing”. Padahal suara ini lahir dari perut lapar, biaya kuliah yang naik, harga beras yang mencekik, dan DPR yang makin rakus. Menyebutnya bayaran asing sama saja dengan menutup telinga sambil menyalahkan gema. Di jalanan, mahasiswa dan masyarakat sipil menyatukan suara lewat “17+8 Tuntutan Rakyat”. Ada tuntutan jangka pendek: tim investigasi independen, penghentian kriminalisasi demonstran, proses hukum aparat pelaku kekerasan, pembekuan tunjangan DPR. Ada pula visi jangka panjang: reformasi kepolisian agar profesional dan humanis, reformasi DPR dan partai politik, hingga penguatan KPK dan UU Perampasan Aset. Ini bukan sekadar marah. Ini manifesto. Sebuah cetak biru rakyat untuk republik yang lebih waras. Tapi entah didengar, atau hanya dibuang di laci bersama tumpukan draft RUU yang tak pernah dibahas.

Bagi saya, demonstrasi bukan pilihan romantis. Ia lahir dari keputusasaan. Jika parlemen benar-benar bekerja, jika pemerintah benar-benar transparan, jika aparat benar-benar melindungi, siapa yang mau kepanasan, kehausan, dan berhadapan dengan tameng? hah? Jalanan tak akan sepi hanya karena negara mau memukul. Jalanan sepi ketika negara belajar mendengar. Tapi sampai hari ini, yang saya lihat adalah negara yang tuli, aparat yang brutal, dan DPR yang sibuk menghitung tunjangan. Dan inilah satire pahitnya: rakyat yang turun ke jalan dianggap anarkis, sementara wakil rakyat yang tidur saat sidang disebut terhormat.

Saya mahasiswa, bukan musuh negara. Tapi negara sering memperlakukan saya seolah saya ancaman. Padahal ancaman terbesar bagi republik ini bukan mahasiswa dengan poster karton, tapi politisi yang menjual nurani, aparat yang kehilangan kendali, dan sistem yang dibiarkan membusuk. Jika negara masih memilih membungkam suara rakyat dengan gas air mata, jangan salahkan jalanan jika kelak kebisingannya berubah jadi daftar panjang nama korban. Sejarah akan mencatat: ketika rakyat bersuara, negara memilih membisu dan malah menyalahkan asing.

Penulis : Lathif Muzaqi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *