Di Era Merdeka Belajar bersama Kurikulum Cinta

Dunia pendidikan Indonesia menghadapi masalah penting ketika Kurikulum Merdeka dan Program Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila Rahmatan lil Alamin (P5PRA) dimulai. Ini adalah bagaimana menghidupkan nilai-nilai dalam pembelajaran sehingga tidak terbatas pada formalitas dan penilaian, atau pengetahuan (kognitif). Pendidikan yang hanya menekankan kecerdasan intelektual telah menunjukkan bahwa tidak cukup untuk menghasilkan individu yang sehat. Filosofi ini merujuk pada pendekatan pendidikan yang tidak hanya berfokus pada pengetahuan tetapi juga menanamkan empati, spiritualitas, dan akal budi. Ia menggabungkan filsafat pendidikan klasik, seperti konsep paideia Yunani yang menekankan pembentukan karakter, dengan filosofi keagamaan modern, yang menekankan kasih universal dan kesadaran lingkungan. Metode ini menempatkan pendidikan sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya: fisik, mental, dan spiritual. Sayangnya, pendekatan mekanistik dan linear masih sering menjadi penghalang bagi praktik pendidikan lapangan.

Kurikulum tidak digunakan sebagai sistem yang berfungsi, tetapi sebagai alat teknis. Pendidikan kehilangan ruhnya jika tidak mengintegrasikan prinsip kasih, keberlanjutan, dan spiritualitas. Kurikulum Cinta dan Deep Learning dalam Kurikulum Merdeka mendorong guru untuk membuat proses pembelajaran yang menumbuhkan dimensi kemanusiaan yang dalam, sesuai dengan kesulitan saat ini, dan sesuai dengan nilai-nilai alam dan spiritual. Tiga pelajaran filosofi pendidikan yang menyentuh hati diantaranya:

  1. Kurikulum cinta sebagai basis kemanusiaan: Kurikulum Cinta menanamkan kasih sayang kepada Tuhan, sesama, lingkungan, dan negara. Ini sejalan dengan tujuan ekoteologi, sebuah cabang teologi yang menggabungkan iman dengan tanggung jawab ekologis. Melalui refleksi nilai, cerita inspiratif, dan tindakan nyata berbasis empati, guru dan dosen harus menghidupkan pembelajaran yang menumbuhkan rasa sayang, kepedulian, dan solidaritas. Ini adalah inti dari proses belajar, bukan hanya muatan karakter.
  2. Deep Learning sebagai jalan transformasi makna. Di sini, deep learning berarti tidak hanya mendalam secara akademik, tetapi juga bermakna secara eksistensial. Dalam setiap proses belajar, ia mendorong siswa untuk mengalami, merenungkan, dan menemukan makna. Bukan sekadar menyampaikan pelajaran, guru berperan sebagai pendorong pemikiran dan peningkatan pribadi. Menciptakan makna yang otentik memerlukan integrasi lintas disiplin, pembelajaran berbasis proyek, dan diskusi terbuka.
  3. Kesadaran sosial dan spiritualitas ekologis terintegrasi. Filosofi yang membumi juga berarti terhubung dengan alam dan realitas sosial. Meningkatkan kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari jaringan kehidupan yang lebih luas adalah tujuan utama pendidikan. Dalam kurikulum, prinsip-prinsip ekoteologi seperti rasa syukur, kesederhanaan, dan tanggung jawab lingkungan harus ditanamkan. Siswa tidak hanya cerdas tetapi juga bijaksana ketika mereka memilih dan bertindak untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Dalam era Kurikulum Merdeka dan Program Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila Rahmatan lil Alamin (P5PRA), visi kurikulum cinta dan deep learning sangat penting. Ia menghasilkan generasi yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif, tetapi juga memiliki moralitas yang kuat, kesetiaan spiritual, dan kepedulian terhadap lingkungan.

Penulis: Siti Maftuhah, M.Si.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *