Krisis Kepemimpinan dalam Ormas Keagamaan: Analisis Konflik PBNU dari Perspektif Tata Kelola Ekonomi

Ormas keagamaan di Indonesia, khususnya yang memiliki basis massa besar yaitu Nahdlatul Ulama (NU), tengah menghadapi ujian berat dalam menjaga kesucian misi spiritualnya di tengah godaan kepentingan ekonomi. Gejolak internal yang mengguncang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada minggu ini di penghujung bulan November 2025 menjadi cermin betapa rapuhnya tata kelola organisasi keagamaan ketika bersinggungan dengan pengelolaan sumber daya ekonomi bernilai besar. Konflik yang menempatkan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf di tengah pusaran kontroversi bukan sekadar persoalan kepemimpinan individual, melainkan manifestasi dari problem struktural yang lebih dalam tentang bagaimana organisasi keagamaan mengelola aset dan kepentingan ekonomi tanpa kehilangan jati dirinya.

Akar masalah yang memicu keretakan di tubuh PBNU, sebagaimana diungkapkan secara terus terang oleh tokoh nasional sekaliber Mahfud MD yang juga pernah menjadi Ketua MK, terletak pada perebutan pengelolaan konsesi tambang. Ironi ini menjadi tamparan keras bagi sebuah organisasi yang sejatinya lahir untuk tujuan spiritual dan sosial. Mahfud dengan nada prihatin menyatakan: “malu melihat organisasi keagamaan terseret dalam konflik material, mengingat sejarah NU dan Muhammadiyah yang justru pernah bersatu menggugat pengelolaan migas yang korup ke Mahkamah Konstitusi”. Kini, justru internal NU sendiri yang terjebak dalam pertarungan memperebutkan siapa yang berhak mengelola tambang. Fenomena ini menunjukkan betapa lemahnya sistem checks and balances dalam tata kelola ekonomi organisasi keagamaan, di mana tidak ada mekanisme transparan yang mengatur bagaimana keputusan ekonomi besar harus diambil dan dipertanggungjawabkan kepada seluruh anggota organisasi.

Dinamika konflik semakin kompleks ketika Rapat Harian Syuriyah PBNU yang dihadiri 37 dari 53 anggota pada 21 November 2025 mengeluarkan ultimatum keras kepada Gus Yahya untuk mengundurkan diri dalam waktu tiga hari. Keputusan yang ditandatangani langsung oleh Rais Aam PBNU Miftachul Akhyar ini bahkan disertai ancaman pemberhentian sepihak jika tidak diindahkan. Ketegangan bertambah dengan dikeluarkannya surat pemberhentian Charles Holland Taylor dari posisi Penasihat Khusus Ketua Umum untuk Urusan Internasional, yang mengindikasikan bahwa konflik tidak hanya berdimensi internal namun juga menyentuh aspek hubungan internasional organisasi. Respons Gus Yahya yang memilih melawan dengan menggalang dukungan dari Pengurus Wilayah NU se-Indonesia dalam pertemuan maraton di Hotel Novotel Surabaya menciptakan dualisme kekuasaan yang berbahaya. Di satu sisi ada otoritas Syuriyah yang secara hierarkis memiliki kewenangan tinggi, di sisi lain ada legitimasi demokratis dari Muktamar yang memilih Gus Yahya.

Dari perspektif tata kelola organisasi, konflik PBNU mengekspos kelemahan fundamental dalam struktur pengambilan keputusan ekonomi di organisasi keagamaan. Tidak adanya lembaga independen yang mengawasi transaksi ekonomi berskala besar, ketiadaan mekanisme transparansi keuangan yang dapat diakses oleh seluruh anggota, serta ambiguitas wewenang antara Syuriyah dan Tanfidziyah dalam hal pengelolaan aset ekonomi menjadi celah yang memungkinkan konflik kepentingan tumbuh subur. Mahfud MD secara kritis menunjukkan bahwa bahkan Katib Aam Syuriyah yang seharusnya membantu Rais Aam, yakni Ahmad Said Asrori, enggan menandatangani surat keputusan pemberhentian, sementara Sekretaris Jenderal Saifullah Yusuf juga berada di kubu yang berbeda dengan Gus Yahya. Fragmentasi ini menunjukkan bahwa konflik ekonomi telah merembes ke seluruh lapisan kepemimpinan, menciptakan paralysis dalam pengambilan keputusan organisasi.

Sikap Sekretaris Jenderal Gus Ipul yang meminta warga Nahdliyin untuk menyerahkan penyelesaian kepada ulama sepuh dan tidak terjebak dalam spekulasi, meskipun terdengar bijaksana, sejatinya mengaburkan substansi masalah. Pendekatan elitis yang menempatkan penyelesaian hanya di tangan segelintir ulama senior tanpa melibatkan mekanisme partisipatif dari basis massa justru berpotensi mengulang kesalahan yang sama di masa depan. Organisasi modern, termasuk organisasi keagamaan, membutuhkan sistem tata kelola yang tidak hanya mengandalkan kearifan individual para pemimpin, tetapi juga institusionalisasi proses pengawasan dan akuntabilitas yang terstruktur. Ketika keputusan ekonomi senilai konsesi tambang diambil tanpa mekanisme transparansi dan persetujuan forum yang jelas, maka pintu bagi konflik kepentingan terbuka lebar.

Kompleksitas masalah bertambah dengan adanya dugaan kedekatan Gus Yahya dengan Israel yang menjadi salah satu alasan dalam dokumen pemberhentian. Dimensi politik internasional ini menunjukkan bahwa organisasi keagamaan tidak lagi bisa bersikap insular, melainkan harus mempertimbangkan implikasi geopolitik dari setiap kebijakan yang diambil. Namun yang memprihatinkan, isu ini tercampur aduk dengan konflik ekonomi internal, sehingga sulit membedakan mana yang merupakan keprihatinan ideologis murni dan mana yang sekadar senjata politik untuk menjatuhkan lawan. Ketiadaan pemisahan yang jelas antara fungsi spiritual-ideologis organisasi dengan fungsi pengelolaan ekonominya menciptakan situasi di mana setiap konflik ekonomi dapat dengan mudah dibungkus dengan narasi ideologis, dan sebaliknya.

Pertemuan Silaturahmi Alim Ulama di Kantor PBNU Jakarta pada 23 November 2025 yang menyepakati agar kepemimpinan Gus Yahya terus berjalan hingga Muktamar berikutnya menunjukkan adanya kekuatan tandingan yang signifikan terhadap keputusan Syuriyah. Katib Aam Ahmad Said Asrori dengan tegas menyatakan penolakan terhadap pemakzulan dan pengunduran diri, dengan argumentasi bahwa pergantian kepemimpinan hanya sah melalui Muktamar sebagai forum tertinggi. Namun argumen konstitusionalitas ini menjadi problematis ketika berhadapan dengan klaim otoritas Syuriyah yang secara hierarkis juga memiliki dasar dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi. Ambiguitas ini mencerminkan kelemahan dalam konstitusi organisasi yang tidak mengantisipasi situasi konflik kepentingan ekonomi di level kepemimpinan tertinggi.

Solusi yang ditawarkan Mahfud MD berupa jalan islah atau perdamaian, meskipun pragmatis mengingat masa jabatan yang tinggal setahun, sejatinya hanya menunda problem struktural yang akan muncul kembali di masa depan. Yang dibutuhkan bukan hanya rekonsiliasi personal, melainkan reformasi fundamental dalam tata kelola ekonomi organisasi. Beberapa langkah konkret yang perlu dipertimbangkan antara lain: pembentukan badan independen untuk mengawasi seluruh transaksi ekonomi organisasi yang beranggotakan pihak-pihak yang tidak memiliki konflik kepentingan, mekanisme transparansi penuh terhadap seluruh pemasukan dan pengeluaran organisasi yang dapat diakses oleh anggota, pemisahan tegas antara fungsi spiritual-dakwah organisasi dengan pengelolaan aset ekonomi melalui entitas terpisah, serta aturan main yang jelas tentang kewenangan masing-masing organ organisasi dalam pengambilan keputusan ekonomi berskala besar.

Krisis PBNU juga menggarisbawahi bahaya ketika organisasi keagamaan terlalu dalam terlibat dalam pengelolaan aset ekonomi yang bersifat ekstraktif seperti tambang. Berbeda dengan pengelolaan aset produktif seperti sekolah, rumah sakit, atau koperasi yang sejalan dengan misi sosial organisasi, pengelolaan tambang membawa risiko konflik kepentingan yang jauh lebih besar karena nilai ekonominya yang sangat tinggi dan potensi kerusakan lingkungan yang menyertainya. Organisasi keagamaan perlu mempertimbangkan dengan serius apakah keterlibatan dalam sektor ekstraktif ini sejalan dengan misi spiritualnya, atau justru akan menjadi sumber konflik berkepanjangan yang menggerus kredibilitas moral organisasi di mata masyarakat.

Peran pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan HAM, dalam konflik internal organisasi massa juga menjadi isu sensitif yang disinggung oleh Mahfud MD. Ia mengingatkan agar pemerintah tidak gegabah mengambil sikap yang bisa dianggap memihak salah satu kubu. Namun di sisi lain, negara juga memiliki kepentingan untuk memastikan organisasi massa besar seperti NU tetap stabil mengingat perannya sebagai pilar NKRI dan wasatiyyah Islam. Dilema ini menunjukkan perlunya kerangka regulasi yang lebih jelas tentang bagaimana negara dapat memfasilitasi penyelesaian konflik internal organisasi massa tanpa dianggap intervensi yang melanggar otonomi organisasi, sekaligus memastikan prinsip-prinsip good governance diterapkan dalam pengelolaan organisasi yang memiliki pengaruh sosial besar.

Konflik PBNU akhirnya menjadi pelajaran berharga bukan hanya bagi NU sendiri, tetapi bagi seluruh organisasi masyarakat keagamaan di Indonesia tentang pentingnya membangun sistem tata kelola ekonomi yang kuat, transparan, dan akuntabel. Ketika organisasi keagamaan mulai mengelola aset ekonomi yang besar, ia tidak bisa lagi hanya mengandalkan kepercayaan moral kepada pemimpinnya, melainkan harus membangun institusi dan sistem yang dapat mencegah penyalahgunaan wewenang dan konflik kepentingan. Masa depan organisasi masyarakat keagamaan yang sehat terletak pada kemampuannya memadukan nilai-nilai spiritual yang menjadi jati dirinya dengan prinsip-prinsip tata kelola modern yang menjamin transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Hanya dengan cara itulah organisasi keagamaan dapat menjalankan misi spiritualnya tanpa tergelincir ke dalam perangkap konflik kepentingan ekonomi yang merusak kredibilitas dan mengkhianati kepercayaan jutaan anggotanya.

Penulis : Moh. Ihsan, MM.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *