Mengungkap Judi Online: Ancaman Nyata, Fakta Terkini, Dampak, Pengakuan Mantan Penjudi, dan Cara Menghindarinya

Jika menilik ke belakang, praktik perjudian sudah dikenal sejak zaman kuno dengan bentuk sederhana seperti undian, dadu, dan permainan kartu. Di pedesaan, bentuk judi yang kerap ditemui bukan hanya itu saja, melainkan juga sabung ayam atau balap burung dara. Aktivitas ini biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar terhindar dari pantauan aparat maupun masyarakat luas. Seiring perkembangan zaman, bentuk perjudian pun ikut berevolusi hingga muncul fenomena yang kini marak, yaitu “judi online.” Judi online merupakan permainan yang dilakukan secara daring melalui platform tertentu, di mana para pemain memasang taruhan pada salah satu pilihan dari beberapa opsi yang tersedia. Pemenang adalah mereka yang memilih jawaban atau hasil yang benar, sementara peserta lainnya mengalami kekalahan. Selain dalam bentuk taruhan, judi online juga kerap dikemas dalam bentuk permainan (games) untuk menarik lebih banyak pengguna.

Ada sejumlah faktor yang mendorong maraknya judi online. Pertama, banyak orang tergiur dengan iming-iming hasil instan tanpa memikirkan risiko kerugian yang mungkin timbul (Nurdiana dkk., 2022). Kedua, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi justru menjadi lahan subur bagi praktik perjudian daring (Kusumaningsih & Suhardi, 2023). Ketiga, kemudahan akses dari berbagai perangkat elektronik yang dimiliki masyarakat semakin mempercepat penyebarannya (Sitanggang dkk., 2023). Keempat, faktor lingkungan sosial, di mana seseorang yang sering bergaul dengan komunitas penjudi cenderung ikut terjerumus dalam kebiasaan tersebut.

Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa hingga akhir tahun 2024, jumlah pemain judi online di Indonesia diperkirakan menembus angka 11 juta orang. Pada kuartal pertama 2025, tercatat nilai deposit dari pemain berusia 10–16 tahun mencapai lebih dari Rp2,2 miliar, sedangkan kelompok usia 17–19 tahun mencapai Rp47,9 miliar. Nilai deposit tertinggi berasal dari pemain berusia 31–40 tahun, yakni sekitar Rp2,5 triliun. Menariknya, 71,6% pelaku judi online memiliki penghasilan di bawah Rp5 juta dan umumnya mempunyai pinjaman di luar jalur resmi seperti perbankan, koperasi, atau kartu kredit. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam judi online di Indonesia masih tergolong tinggi.

Dari sudut pandang hukum Islam, judi online jelas diharamkan karena tidak memberikan manfaat yang berarti, justru menimbulkan mudharat yang besar bagi pelakunya. Adapun menurut hukum positif di Indonesia, praktik ini juga dilarang karena berpotensi memicu tindak kriminal lainnya seperti pencurian, penipuan, bahkan pembunuhan. Pada hakikatnya, perjudian dapat merusak akal sehat, membuat pelaku kehilangan rasionalitas, dan mendorong mereka mencari jalan pintas untuk memperoleh uang. Akibatnya, tak jarang mereka rela menghalalkan segala cara demi memenuhi dorongan untuk kembali berjudi (Islami, 2022). Melihat maraknya fenomena ini, berbagai strategi sebenarnya telah dilakukan untuk menekan praktik judi online. Pemerintah meluncurkan sejumlah program pemberantasan, sementara berbagai pihak swasta, termasuk pesantren, turut mengambil peran dalam memberikan edukasi dan pendampingan. Sayangnya, di lapangan upaya-upaya tersebut belum sepenuhnya efektif. Banyak kasus menunjukkan bahwa meskipun seorang penjudi sudah direhabilitasi, tidak menutup kemungkinan ia akan kembali mengulangi perbuatannya. Demikian pula, nasihat yang hanya disampaikan lewat kata-kata sering kali tidak membekas, ibarat masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Bahkan ketika satu aplikasi judi berhasil diblokir, para pelaku umumnya segera mencari alternatif lain.

Dalam wawancara yang penulis lakukan dengan seorang mantan pelaku judi online, terungkap bahwa dorongan untuk benar-benar berhenti sejatinya harus datang dari diri sendiri. Menurutnya, titik balik sering terjadi ketika pelaku mengalami kejatuhan ekonomi yang parah, sehingga memaksanya untuk berhenti dan bertaubat. Meski begitu, jumlah mereka yang berhenti karena kesadaran murni, yakni tanpa harus mengalami kebangkrutan, masih terbilang sedikit. Berdasarkan pengakuan narasumber, justru penjudi yang sudah “jatuh” secara finansial memiliki peluang lebih besar untuk benar-benar meninggalkan kebiasaan buruk ini.

Atas dasar itu, penulis mengajak pembaca untuk menjauhkan diri dari segala bentuk judi online sebelum terlambat. Ada dua langkah sederhana yang dapat dilakukan: pertama, menjaga jarak dari lingkungan atau tontonan yang berkaitan dengan judi online; kedua, menahan diri untuk tidak mencoba, meskipun hanya sekali. Dua hal ini penting, karena rasa penasaran atau keinginan mencoba sering kali menjadi pintu masuk kecanduan, yang pada akhirnya membuat seseorang terus-menerus melakukan deposit untuk bermain. Sebagai alternatif, gunakanlah uang untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Penuhi kebutuhan pribadi dan keluarga, atau alokasikan untuk investasi yang halal dan legal. Pilihannya banyak, di mulai dari saham, deposito, emas, properti, hingga aset digital seperti crypto. Semua investasi tersebut memberikan peluang keuntungan, meskipun tidak instan. Dengan cara ini, uang yang dimiliki tidak hanya terjaga nilainya, tetapi juga berpotensi berkembang tanpa harus mempertaruhkan nasib di meja judi.

Penulis: Zainal Muttaqin, S.E., M.E.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *