Agustus selalu jadi bulan yang istimewa bagi kita semua. Bendera merah putih berkibar di setiap sudut kampung, lagu-lagu perjuangan bergema di mana-mana, dan semangat kemerdekaan terasa begitu kental di udara. Tapi tahun ini, ada yang berbeda. Di tengah euforia peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, justru muncul gelombang protes yang cukup mengejutkan. Bukan karena korupsi atau skandal politik biasa, melainkan karena hal yang menyentuh langsung kehidupan sehari-hari: kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melangit. Ironis memang. Di bulan di mana kita merayakan kebebasan dari penjajahan, justru rakyat merasa terjajah oleh kebijakan pemerintah daerahnya sendiri. Demonstrasi besar-besaran di Pati, Jawa Tengah, beberapa hari lalu jadi bukti nyata betapa geramnya masyarakat dengan kenaikan PBB yang mencapai ratusan hingga ribuan persen. Bayangkan, pajak yang biasanya Rp 50 ribu tiba-tiba naik jadi Rp 500 ribu atau bahkan lebih. Siapa yang tidak marah?
Ketika “Kemerdekaan” Jadi Pertanyaan
Sebenarnya, apa sih makna kemerdekaan itu? Kalau kita flashback ke 79 tahun lalu, para founding fathers kita berjuang merebut kemerdekaan dari penjajah yang memeras hasil bumi dan keringat rakyat. Mereka ingin rakyat Indonesia hidup bebas, sejahtera, dan tidak tertindas. Tapi sekarang, ketika rakyat merasa diperas oleh kebijakan pemerintahnya sendiri, pertanyaannya jadi menggantung: sudahkah kita benar-benar merdeka? Hotman Samosir, seorang pemerhati hukum, punya analisis yang cukup tajam soal ini. Menurutnya, kenaikan PBB secara drastis di berbagai daerah seperti Pati, Jombang, Semarang, Cirebon, hingga Bone, bukan hanya soal kebijakan fiskal yang keliru, tapi juga bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan. “Rakyat bukan sapi perah,” tegasnya dengan tegas. Dan memang benar sih. Bagaimana mau merdeka kalau setiap hari rakyat dipusingkan dengan beban hidup yang semakin berat? Harga sembako naik, listrik naik, BBM naik, eh sekarang pajak rumah juga naik berkali-kali lipat. Mau taro muka di mana?
Drama Pemda: Kreatif Bikin Beban, Malas Bikin Solusi
Yang bikin geram, banyak pemerintah daerah yang sepertinya sudah kehilangan kreativitas dalam mencari sumber pendapatan. Solusi yang dipilih selalu yang itu-itu aja: naikin pajak. Padahal, kalau mau jujur, masih banyak banget cara lain untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa harus “nyekik” rakyat. Coba deh lihat anggaran daerah kita. Masih banyak yang dialokasikan untuk hal-hal yang kurang urgent: belanja seremonial yang mewah, perjalanan dinas yang kayak liburan, hibah yang tidak jelas, proyek-proyek yang sebenarnya bisa ditunda. Kenapa yang kayak gini tidak dipangkas dulu sebelum memeras rakyat? Atau, kenapa tidak belajar dari negara lain? Korea Selatan dan Singapura berhasil meningkatkan pendapatan daerah bukan dengan menaikkan pajak serampangan, tapi dengan efisiensi birokrasi dan mengundang investasi yang sehat. Mereka kreatif mengoptimalkan aset daerah, digitalisasi layanan publik, dan transparansi yang tinggi. Simple, tapi efektif. Tapi kayaknya, berpikir kreatif itu terlalu ribet buat sebagian pemda kita. Mending ambil jalan pintas: naikin pajak, selesai. Padahal, jalan pintas ini justru bisa jadi jalan terjal yang berujung pada perlawanan rakyat.
DPRD: Tukang Stempel atau Wakil Rakyat?
Nah, ini yang juga bikin kesel. Di mana sih DPRD ketika kebijakan kenaikan PBB yang ugal-ugalan ini dibahas? Kok kayaknya mereka cuma jadi tukang stempel yang langsung mengetok palu tanpa kajian akademis yang memadai? Padahal, fungsi DPRD itu jelas: jadi pengimbang eksekutif dan mewakili suara rakyat. Tapi kalau mereka cuma ikut-ikutan tanpa mempertimbangkan dampak sosial ekonomi, sama aja mengkhianati amanah rakyat yang sudah memilih mereka. Hotman Samosir bahkan bilang kalau DPRD yang seperti ini sama aja mengkhianati fungsi representasi rakyat. Dan gue setuju banget. Gimana bisa disebut wakil rakyat kalau suara rakyat diabaikan begitu saja?

Demonstrasi: Suara Rakyat yang Tidak Bisa Diabaikan
Demonstrasi di Pati beberapa hari lalu seharusnya jadi warning buat semua pemda di Indonesia. Ini bukan sekadar aksi protes biasa, tapi bentuk perlawanan rakyat yang sudah tidak tahan dengan kebijakan yang menindas. Dan yang perlu diingat, ini terjadi di bulan kemerdekaan, di mana semangat perlawanan terhadap penindasan masih sangat kental. Rakyat yang tertekan pajak akan melawan, minimal dengan menolak bayar. Dan kalau itu terjadi, PAD malah bisa turun, bukan naik. Jadi, apa gunanya menaikkan pajak kalau ujung-ujungnya rakyat mogok bayar? Malah jadi bumerang kan? Yang lebih bahaya lagi, kekecewaan publik bisa meluas jadi ketidakstabilan politik di daerah. Pemda yang tadinya solid bisa goyang karena kehilangan dukungan rakyat. Dan ini bukan ancaman kosong, karena sejarah sudah membuktikan bahwa rakyat yang tertindas akan selalu mencari jalan untuk melawan.
Solusi: Tax Justice, Bukan Tax Crazy
Sebenarnya, solusinya sederhana kok. Yang dibutuhkan adalah pendekatan tax justice – pajak yang adil dan proporsional dengan kemampuan rakyat. Bukan tax crazy yang bikin rakyat stress. Pertama, pemda harus paham betul regulasi perpajakan yang berlaku. UU HKPD dan PP turunannya sudah jelas mengatur koridor kenaikan PBB. Kepala daerah tidak bisa sembarangan menaikkan pajak tanpa dasar yang kuat. Kedua, sebelum menaikkan pajak, lakukanlah kajian mendalam tentang daya beli masyarakat dan kondisi ekonomi daerah. Jangan sampai kebijakan fiskal justru membunuh perekonomian rakyat. Ketiga, prioritaskan efisiensi belanja daerah. Pangkas anggaran yang tidak produktif sebelum mencari sumber pendapatan baru dari kantong rakyat. Keempat, manfaatkan teknologi untuk digitalisasi pemungutan pajak. Ini bisa mencegah kebocoran dan memastikan penerimaan pajak benar-benar masuk ke kas daerah, bukan ke kantong pribadi oknum. Dan yang paling penting, libatkan rakyat dalam proses pengambilan keputusan. DPRD harus benar-benar menjalankan fungsi representasinya dengan mengadakan dengar pendapat publik sebelum mengesahkan kenaikan pajak.
Refleksi di Bulan Kemerdekaan
Di penghujung bulan kemerdekaan ini, ada baiknya kita semua berefleksi. Kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan bukan hanya soal lepas dari penjajahan fisik, tapi juga membangun sistem pemerintahan yang melayani dan melindungi rakyat, bukan menindas. Kalau pemerintah daerah terus mengambil kebijakan yang memberatkan rakyat tanpa mempertimbangkan keadilan dan kemampuan mereka, lalu apa bedanya dengan penjajah masa lalu? Mereka juga memeras hasil bumi dan keringat rakyat untuk kepentingan penguasa. Semoga demonstrasi di Pati dan gelombang protes serupa di daerah lain bisa membuka mata para pemimpin daerah. Rakyat tidak meminta yang muluk-muluk, hanya keadilan dan kebijakan yang manusiawi. Dan semoga di masa depan, bulan Agustus tidak lagi diwarnai dengan protes rakyat, tapi benar-benar jadi bulan perayaan kemerdekaan yang sesungguhnya – kemerdekaan dari segala bentuk penindasan, termasuk penindasan melalui kebijakan pajak yang tidak adil.
Merdeka!
Penulis: Moh. Ihsan, MM.